
Lampaui Stroke, Covid-19 Bisa Turunkan IQ Pasien hingga 7 Poin
Studi yang dilakukan Imperial College London, Inggris, mengungkap pasien yang telah sembuh dari Covid-19 cenderung memiliki hasil tes kecerdasan lebih rendah dan menguatkan pengaruh gejala Long Covid brain fog. Terutama bagi pasien yang lebih parah, pengurangan kemampuan kognitif yang ditemukan substansial.
Ketua tim studi, Adam Hampshire, menjelaskan, secara kebetulan pandemi meningkat di Inggris ketika dirinya mengumpulkan data kesehatan kognitif dan mental dalam skala yang sangat besar sebagai bagian dari kolaborasi BBC2 Horizon, Great British Intelligence Test. Hampshire adalah profesor di Laboratorium Komputasi, Kognitif, dan Neuroimaging Klinis di Imperial College London.
Dia menerangkan, tes terdiri dari serangkaian tugas yang dirancang mengukur berbagai dimensi kemampuan kognitif untuk aplikasi baik dalam sains warga maupun penelitian klinis. “Sejumlah kolega menunjukkan ini memberikan kesempatan untuk mengumpulkan data penting tentang bagaimana pandemi dan penyakit mempengaruhi kesehatan mental dan kognisi,” ujar dia, seperti dikutip dari Psy Post, 24 Juli 2021.
Hampshire memperluas penelitian untuk memasukkan informasi tentang Covid-19 dan dampak pandemi pada kehidupan sehari-hari secara lebih umum. Hampshire dan timnya menganalisis data dari 81.337 peserta yang menyelesaikan tes kecerdasan antara Januari dan Desember 2020.
Dari seluruh sampel, 12.689 orang melaporkan bahwa mereka pernah terinfeksi Covid-19, dengan berbagai tingkat keparahan pernapasan. Setelah mengontrol faktor-faktor seperti usia, jenis kelamin, kidal, bahasa ibu, tingkat pendidikan, dan variabel lainnya, para peneliti menemukan mereka yang tertular Covid-19 cenderung berkinerja buruk pada tes kecerdasan dibandingkan dengan mereka yang tidak tertular.
Dan defisit terbesar diamati pada tugas-tugas yang membutuhkan penalaran, perencanaan, dan pemecahan masalah. “Ini sejalan dengan laporan Long Covid, di mana ‘kabut otak’, kesulitan berkonsentrasi, dan kesulitan menemukan kata-kata yang benar adalah hal biasa,” tutur para peneliti.
Penelitian sebelumnya juga menemukan bahwa sebagian besar penyintas Covid-19 dipengaruhi oleh komplikasi neuropsikiatri dan kognitif. Hampshire mengimbau kepada masyarakat agar berhati-hati, karena sepertinya virus dapat mempengaruhi kognisi.
“Kami tidak sepenuhnya memahami bagaimana, mengapa, atau untuk berapa lama, tapi kami sangat perlu mencari tahu. Sementara itu, jangan mengambil risiko yang tidak perlu dan segera lakukan vaksinasi,” tutur Hampshire.
Tingkat kinerja kognitif yang rendah juga dikaitkan dengan tingkat keparahan penyakit. Mereka yang dirawat di rumah sakit dengan ventilator menunjukkan defisit terbesar. Defisit yang diamati untuk pasien Covid-19 yang telah memakai ventilator disebutkan setara dengan penurunan IQ 7 poin.
Defisit bahkan lebih besar dari defisit yang diamati untuk individu yang sebelumnya menderita stroke dan yang melaporkan ketidakmampuan belajar. “Saya pikir adil untuk mengatakan kita yang telah menganalisis data seperti ini agak gugup dengan keputusan untuk membiarkan pandemi berjalan dengan sendirinya di Inggris,” kata Hampshire.
Penelitian ini sebagian besar menggunakan metodologi cross-sectional, membatasi kemampuan menarik kesimpulan tegas tentang sebab dan akibat. Sampel yang besar dan beragam secara sosial ekonomi memungkinkan peneliti mengontrol berbagai macam variabel yang berpotensi ikut berperan, termasuk kondisi yang ada sebelumnya.
Peringatan utamanya, kata Hampshire, adalah bahwa kita tidak tahu apa dasar mekanistik dari asosiasi kognisi Covid-19 yang diamati. Juga tidak tahu berapa lama dampak apapun pada kognisi dapat bertahan. “Kami menyediakan teknologi penilaian dalam serangkaian penelitian sekarang ini untuk mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan itu,” ujar Hampshire yang penelitiannya diterbitkan dalam The Lancet jurnal EClinicalMedicine itu.
PSY POST | THE LANCET

